100% Made In Indonesian

blog-indonesia.com blog-indonesia.com blog-indonesia.com blog-indonesia.com

Nasionalisasi Sumber Daya Alam Indonesia;?



Berikanlah KEKUASAAN kepada orang miskin:
pengetahuan, tanah, kredit, teknologi, dan organisasi. Itulah
satu-satunya cara mengakhiri kemiskinan
[Hugo Chavez, 2005]




KETIKA peringatan hari bumi baru saja berlalu, Bolivia mengumumkan
langkah kebijakannya untuk menasionalisasikan sumber daya alamnya
(sektor migas). Kebijakan pemerintahan Evo Morales ini bertujuan untuk
kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, nasionalisasi ini bertujuan
untuk menjadikan negara Bolivia sebagai "majikan" dari kekayaan sumber
daya alamnya dan memaksa (memangkas keserakahan) seluruh perusahaan
asing yang menghisap minyak dan gas mereka.

Kebijakan presiden Morales ini menjadi sebuah langkah kontroversi bagi
dunia internasional yang didominasi negara-negara barat yang menganut
paham ekonomi kapitalis. Aturan ini dianggap "perlawanan" dan "kiri"
dalam arus globalisasi hari ini, langkah ini disebut sebagai langkah
mundur dalam mainstream skema politik ekonomi internasional yang
memiliki corak produksi individualis.

Perusahaan transnasional dan multinasional yang hampir seluruhnya
berasal dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa dibuat kalang
kabut untuk melakukan negoisasi ulang dengan perusahaan minyak nasional
Bolivia (YPFB) tentang peran serta mereka sebagai "mitra" pemerintah
Bolivia dalam melakukan eksploitasi sumber minyak dan gas. Bayangkan,
renegosiasi untuk menyepakati YPFB yang akan menjadi pemegang saham
mayoritas dalam perusahaan-perusahaan energi asing yang beroperasi
dinegara itu hanya dilakukan dalam waktu 180 hari saja.

Kebijakan berani dan cerdas bangsa Bolivia ini memberikan pelajaran
kepada kita tentang arti sebenarnya dari keberpihakan penguasa kepada
rakyat, tentang arti sebenarnya dari tugas negara mengelola kekayaan
alam untuk kesejahteraan rakyat, kebijakan ini (secara langsung dan
tidak langsung) menaikan posisi tawar pemerintahan Bolivia.

Adalah sebuah kepantasan yang hakiki, bila seluruh kekayaan alam
dikelola oleh negara untuk kemakmuran seluruh rakyatnya. Adalah hak
dasar seluruh rakyat didalam suatu negara untuk sejahtera, bangkit dan
berdaya melalui potensi kekayaan sumber daya alamnya. Adalah tidak
melanggar secuil kesepakatan pun di atas bumi ini bila pemerintahan

sebuah negara mensejahterakan rakyatnya dari hasil kekayaan sumber daya
alam yang syah dimilikinya (berada dalam wilayah negaranya) dan tidak
ada larangan sedikitpun bila negara mencerdaskan rakyatnya bukan dari
utang luar negeri, dan pemerintah Bolivia secara konkrit melakukannya.


Bagaimana dengan Indonesia ?
Tidak berbeda nasibnya dengan negara-negara Amerika Latin, Sejak jaman
kolonial klasik kekayaan alam bangsa ini telah dihisap pihak asing.
Sejarah penjajahan bangsa ini menjelaskan kepada kita tentang monopoli
dagang hasil bumi Indonesia oleh Serikat Dagang Hindia Belanda.

Pengangkangan kekayaan alam nusantara ini kemudian dilakukan dengan
kekuatan senjata. Dengan letak geografis yang strategis, Indonesia
memiliki kekayaan alam yang luar biasa dan memiliki jumlah penduduk
terbesar ke 4 di dunia, menjadikan bangsa ini target utama kaum
imperialisme.

Sejarah Indonesia yang fondasinya dibangun oleh kolonialisme Hindia
Belanda menyebabkan tatanan rumit yang membuat keengganan untuk
membongkar sistem pembangunan bentukan kolonialis menjadi suatu sistem
pembangunan yang lebih mandiri (ketimbang bergantung pada inisiatif
negara-negara imperialis). Sejak jaman revolusi sampai hari inipun
sejarah mencatat, bahwa rezim berkuasa merupakan kepanjangan tangan

kaum imperialis untuk memantapkan kondisi "rust en orde" demi
kenyamanan bercokolnya imperialisme di bumi Indonesia.

Fakta ini dapat dilihat di dalam Manifesto Politik Muh. Hatta (Wapres
RI pertama) pada tanggal 1 Nopember 1945, berbunyi: "Kita mengetahui,
bahwa kedudukan negeri kita meletakkan suatu tanggung-jawab yang besar
di bahu kita terhadap keluarga dunia, kita tidak membenci bangsa asing,
juga tidak benci kepada bangsa Belanda........ Malahan kita mengetahui
dan mengerti benar, bahwa untuk keperluan negeri dan bangsa kita di
dalam beberapa tahun yang akan datang ini, kita akan memerlukan
pertolongan bangsa asing di dalam pembangunan negeri kita berupa kaum
teknik dan kaum terpelajar, pun juga kapital asing."

"Didalam memenuhi keperluan itu kita tidak akan menghindarkan kenyataan
bahwa orang yang berbahasa Belanda, mungkin akan lebih banyak
dipergunakan karena mereka telah ada disini dan lebih biasa akan
keadaan disini. Sehingga pelaksanaan kemerdekaan kita itu belum perlu
berarti kerugian besar untuk pihak Belanda, jika diukur dengan mata
uang atau jiwa, akan tetapi tentu sekali berarti perubahan yang
sebesar-besarnya di dalam kedudukan politiknya."

"Kita yakin, bahwa tanah kita yang kaya-raya ini jika diusahakan dengan
sesungguhnya untuk meninggikan derajat penghidupan bangsa kita serta
dunia umumnya akan masih banyak benar memberi ruangan untuk tenaga dari
seluruh dunia, terutama dari Amerika-Serikat, Australia dan Filipina
untuk turut dalam pembangunan negara dan bangsa kita."

"....... Dengan pengakuan kemerdekaan kita, kita akan menanggung segala
yang patut kita tanggung menurut kedudukan kita, segala hutang Hindia
Belanda sebelum penyerahan Jepang dan patut menjadi tanggungan kita,
kita akui sebagai hutang kita. Segala milik bangsa asing dikembalikan
kepada yang berhak serta yang diambil oleh negara akan dibayar
kerugiannya dengan seadil-adilnya......."

(Sidik Kertapati, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, hal.: 149-150.)
Tentu saja contoh serupa dapat kita temui dalam perjalanan Indonesia
pasca kolonialisme Hindia Belanda. Apalagi ketika negeri-negeri
imperialis melahirkan lembaga-lembaga seperti World Bank, International
Monetary Funds (IMF) hingga World Trade Organisation (WTO) itu semua
semakin menggamangkan keinginan untuk menghindar dari kekuasaan
imperialisme. Sekarang Imperialisme ditampilkan dengan selubung
globalisasi. Seolah-olah globalisasi menjadi sebuah keharusan sejarah.
Pelajaran penting dari sejarah pengelolaan sumber daya alam di negeri
ini adalah rakyat tidak berdaya untuk mengakses sumber daya alam,
posisi rakyat adalah penonton dan kuli dari penjarahan kekayaan alam di
wilayah kelola masing-masing, dan lainnya adalah eksploitasi yang
berlebihan dan praktek korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam.

Pelajaran penting dari banyak negara lain tidak menarik bagi para
pemimpin kita, karena tidak ada kemauan (dan keberanian) untuk
membangun negeri ini dengan mandiri, bebas dari relasi produksi
kapitalistik. Membebaskan negeri ini dari penindasan dan penghisapan
tidak dapat kita harapkan dari para wakil dan pemimpin, dan hari ini
menjadi tugas kita sebagai rakyat untuk menyadarkan sesama sebagai
rakyat untuk kritis dan menuntut negara melakukan kewajibannya
mensejahterakan kita yang sementara ini masih sebagai rakyatnya Negara
Kesatuan Republik Indonesia.**


*) Penulis adalah Aktivis Institut Dayakologi-Pontianak

Sponsor Kami

Get Chitika eMiniMalls

Location and Infos of you

statistic traffic